top of page

Legenda Srondol dan Nasi Koyor

  • Gambar penulis: Rahman Hanif
    Rahman Hanif
  • 23 Okt 2013
  • 4 menit membaca

Konon, daerah Srondol pada mulanya ditemukan oleh seorang wisatawan Belanda bernama Jan Pieterszoon Coen pada abad ke- 17. Beliau yang kebetulan pada waktu itu sedang sibuk menganggur, bingung memutuskan cara terbaik untuk menghabiskan waktunya.

Berawal dari liputan tentang Kota Semarang pada harian Des Indische, lengkap dengan panduan wisata kulinernya oleh seorang reporter berinisial “BW”, Mas Coen tertarik untuk berkelana dan berpelesir ke Semarang. Menurut empunya cerita, ia tertarik untuk mencicipi sebuah makanan yang mistis nan lezat tiada duanya dan sangat langka yang bernama Lumpia.

Agar tidak kesepian dan mati gaya, Mas Coen membawa serta kedua temannya, mahasiswa Sekolah Rakjat, yaitu Mas Van Ness dan Mas Van Ta. Kebetulan saat itu keduanya juga sedang sibuk menganggur karena kuliah mereka sudah beres namun belum juga compre. Sang trio berangkat dari Batavia pukul ½ 9 malam, dan menuju Semarang dengan berjalan kaki. Rencana awalnya, mereka akan berangkat pada pukul 5 sore sembari melihat sunset, namun akhirnya diundur karena insiden terkuncinya Van Ta di WC rumahnya.

Sepanjang perjalanan, mereka tertawa dan bercanda. Untuk mengusir jenuh, mereka bercengkerama, membaca dan mengerjakan latihan soal, terkadang memukuli satu sama lain. Di saat bacaan mereka habis, mereka mencari cara lain untuk mengusir kebosanan.

Diantaranya dengan berjalan mundur dan berlari mundur. Lalu kemudian berlari miring, berlari handstand, berlari handstand mundur, dan lain sebagainya.

Akhirnya mereka sampai di Kota Semarang setelah seminggu berhandstand, dan serta merta terkejut mendapati bahwa tidak ada apa-apa di Kota itu selain Bangunan yang dijuluki Lawang Sewu yang legendaris itu. Di luar, terdapat plang dalam bahasa Sanskrit yang dipylox bertuliskan “Barang siapa ingin mencicipi lumpia berisi daging Rusa plus kaviar ini, terlebih dahulu harus mengalahkan hantu-hantu penghuni bangunan ini !”.

Putus asa karena tahu bahwa hantu-hantu Lawang Sewu, selain tidak saja menakutkan, tetapi juga gay, Mas Van Ness dan Van Ta memutuskan untuk pulang saja, karena nyawa taruhannya. Mas Coen tidak setuju karena perutnya begitu lapar dan ia berpikir lebih baik mati digelayuti hantu daripada mati kelaparan sembari berjalan handstand mundur di sepanjang perjalanan.

Ternyata di dalam LS (Lawang Sewu), ada salah seorang hantu yang baik hati yang sedari tadi melihat trio kelaparan tersebut dan memutuskan untuk membantu mereka. Sang Hantu memperkenalkan diri sebagai Gaiyus, tetapi ia biasa dipanggil Iyus atau Uus.

Kepada Trio Kelaparan, Iyus memberitahukan bahwa untuk dapat melawan hantu-hantu tersebut, mereka harus meminta bantuan kepada seorang Suhu yang terkenal mumpuni ilmunya, yaitu Mbah Laurent yang bersemedi di daerah pegunungan di sekitar Semarang atas (uptown).

Tanpa basi-basi lagi, setelah berpamitan, dan memberi uang rokok, Trio Kelaparan berangkat untuk mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang (seperti soundtracknya Ninja Hattori), lagi-lagi dengan berhandstand. Dan benar saja, di daerah yang diberitahukan Enjie tersebut, berdiri sebuah warung makan yang terletak di atas bukit, dikelilingi pohon-pohon nan hijau, sementara daerah sekitarnya kosong melompong. Segera saja Trio Kelaparan menyimpulkan bahwa disinilah persemedian Mbah Laurent yang dimaksud itu.

“Kulo Nuwun…” kata mereka. Dan mereka lalu disambut hangat oleh Ki Laurent yang ternyata adalah juga seorang… transgender. “Monggo…Pinarak.. kata Mbah Laurent dengan kemayu sembari mengerlingkan mata.

Sedikit kikuk dan risih, Mas Coen mengutarakan maksudnya, yang langsung saja diiyakan oleh kedua rekan lainnya. Sambil memandangi ketiga orang kelaparan tersebut, Mbah Laurent menuangkan kuah opor bersantan yang tampak begitu lezat dengan kerisnya ke dalam tiga buah mangkuk berisi nasi.

Ya, …dengan kerisnya… dan entah bagaimana caranya, kuah opor itu melekat begitu saja pada permukaan keris Mbah Laurent. Entah adsorpsi macam apa itu. Dengan kerisnya pula, ia tusuk tiga gumpal benda aneh seperti daging tapi bukan daging. Seketika ketiga gumpalan itu memerah dan berdenyut seperti jantung.

“Silahkan dicoba. Ini masakan racikan saya. Saya racik khusus dari bahan-bahan alami tanpa pengawet. Pembuatannya saja mesti di lab pangan. Jangan keburu takut atau jijik. Diemut-emut saja dulu. Kalo tidak kuat ya boleh dilepeh lagi… Lumayan, daripada kalian harus jauh-jauh pergi lagi ke Lawang Sewu itu.” Disgusted tapi penasaran, ketiga pemuda kelaparan tersebut lalu mencobanya.

Siapa sangka, Siapa nyana, ternyata makanan itu sangat enak lagi harum baunya. Belum pernah mereka merasakan makanan seperti itu sebelumnya. Tidak juga di café di Kemang, tempat nongkrong mereka di Batavia. Tanpa sadar mereka menghabiskan makanan itu hingga ke mangkuk-mangkuknya. Konon, kuah masakan itu dibuat dari keringat Mbah Laurent yang disaring dengan membran khusus yang terbuat dari jalinan rambut Mbah Surip yang hidup di puncak Himalaya yang sangat langka itu.

Sedangkan benda berdenyut yang mirip daging itu ternyata terbuat dari mesin kalkulator karce yang stress karena digunakan untuk compre dan direndam dalam kaldu kucing tetangga yang berbelang dua puluh lima, yang tentunya juga sangat langka dan mahal.

Mas Van Ta berceletuk, “Buat apa kita susah-susah turun lagi ke LS, yang ini lebih enak, sedap !”, yang langsung saja diiyakan oleh Mas Van Ness. Ternyata Mas Coen tidak sependapat. “Justru buat apa kita jauh-jauh pergi ke Semarang kalau belum merasakan masakan khas Semarang ?!” Bagaimanapun caranya kita harus menembus LS itu ! Mbah Laurent, Bantu kami Mbah, bagaimana caranya ??!”

“Kamu keras kepala anakku. LS itu sangat berbahaya. Tapi, apa boleh buat jika itu sudah menjadi keputusanmu. Aku sendiri yang akan mengantarkan kalian ke dalam LS. Biarlah hantu-hantu itu menjadi urusanku. Sekarang, bermalamlah dahulu kalian disini. Besok pagi-pagi sekali, kita akan berangkat untuk mengambil lumpia itu. Apapun taruhannya !!”

Siapa sangka, siapa nyana, sebelum ketiga trio kelaparan dan Mbah Laurent bangun untuk menuju ke LS, Pasukan Amerika yang dipimpin oleh Prof. Dr. Roosevelt menyerang Kota Semarang dan membombardirnya dengan bom atom buatan Dr. Oppenheimer yang legendaris itu.

Tak terkecuali, LS menjadi sasaran utama dan pusat dari serangan itu... karena memang hanya itu satu-satunya bangunan yang ada. Seketika saja, hantu-hantu LS yang telah lama mati dibuat mati kembali oleh Amerika dan sekutunya, tak terkecuali si Enjie. Buruk nian nasib hantu malang itu. Tiada yang tersisa dari LS kecuali kulit lumpia yang terbuat dari kryptonite yang konon tahan temperatur hingga 5000 derajat Celcius sekalipun.

Oh.. ..sungguh konyol. Harapan Trio Kelaparan untuk mencicipi lumpia istimewa itu hilanglah sudah. Dengan sisa rasa lapar yang ada dan dengan kesedihan yang mendalam, mereka lalu menghabiskan sisa nasi, kuah, dan daging yang ada dengan membabi buta. Kuah daging yang masih panas membara mereka teguk begitu saja sehingga lidah mereka meleleh. Mas Coen yang makan sambil menangis lalu berteriak… ”KONYOOOLLL….!!!!!”. Tetapi karena lidahnya telah meleleh, maka yang terdengar adalah “ KOYOOORRR….!!!!!”

Sejak itulah nasi daging khas Mbah Laurent disebut sebagai Nasi Koyor.

Sedangkan, Mas Van Ness dan Mas Van Ta sepakat untuk menyebut daerah itu sebagai SRONDOL, singkatan dari SosRONya 10 DOLar. Karena memang harga Teh Botol Sosro sebagai satu-satunya minuman pelepasdahaga di tempat itu adalah 10 dolar, yang dijual Mbah Laurent untuk mendapatkan keuntungan untuk menjalankan bisnis warung nasinya.


 
 
 

Komentar


© 1602
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara

bottom of page