Aku dan Bendera
- Rahman Hanif
- Aug 18, 2016
- 1 min read
Updated: Nov 25, 2021

kata bu guru,
"orang belanda menjajah indonesia selama 350 tahun
orang jepang menyiksa selama 3,5 tahun saja, tapi lebih kejam
sekolah sering diliburkan gara-gara perang berkecamuk
maka, kalian patut mensyukuri kemerdekaan ini
sehingga kalian bisa sekolah dengan tenang"
tak pernah sedikit pun kupertanyakan
apakah cerita ibu dan bapak guru itu benar
aku ikut karnaval tujuh belasan dan bergembira
sampai dewasa dan punya rumah sendiri, setiap tahun
7 hari sebelum dan sesudah tanggal 17 agustus
kukibarkan selalu sang merah putih di pekarangan rumahku
kata orang banyak,
"Pak Harto melanggar hak-hak asasi manusia"
tak pernah aku bertemu langsung dengan seorang pun korbannya
tetapi aku sangat mengerti bagaimana rasanya
diperlakukan dengan tidak adil dan susahnya memaafkan
tak kucela mereka yang enggan berbelasungkawa karenanya
tapi kata diriku sendiri,
sejak pra-sekolah sampai jadi sarjana
sungguh tenang sekolahku hingga hari libur jadi sangat berarti
seusai ulangan umum
aku dan teman-teman bersepeda ria keluar masuk gang hingga malam
dan orang tua kami tenang-tenang saja
Setelah Pak Harto lengser
setiap pagi, di depan gerbang kantor kami sendiri
mobil kami harus disensor detektor dulu, baru boleh terus
bersepeda tidak asyik lagi dan naik taksi jadi semakin mahal
karena di mana-mana diportal lengkap dengan gerbang raksasanya
mau masuk rumah sendiri saja rumit benar
jika untuk kemerdekaan, dari penjajahan yang tak pernah kualami
kukibarkan bendera satu tiang
dan untuk gugurnya para pahlawan yang tak pernah kusaksikan bertempur
kukibarkan bendera setengah tiang
apalagi untuk tiadanya seorang (pahlawan) yang pernah kurasakan jasanya
sudah tentu kukibarkan bendera setengah tiang
Comments